Heri Chandra Santoso: Sebelum Belajar Sastra, Kita Perkenalkan Mereka Dengan Bacaan.


https://www.syahdankeliat.com/2023/11/heri-chandra-santoso-sebelum-belajar.html
Sumber Foto : https://www.beritasatu.com/nasional/592122/heri-chandra-santoso-bertahan-di-jalan-kesunyian/amp

 

Di media sosial banyak sekali komentar-komentar negatif yang keluar dari netizen, baik itu dari orang dewasa maupun anak-anak. Kebebasan dalam berkomentar membawa dampak negatif kepada anak-anak. Salah satunya adalah anak-anak dengan mudah mengatakan bahasa-bahasa 'kotor' atau negatif kepada orang yang lebih tua. Tidak hanya di media sosial, berbahasa negatif dari bacaan komentar di media sosial juga merambah ke bidang permainan game online. Anak-anak lebih mudah memaki lawan mainnya daripada memberikan apresiasi yang baik kepada teman mainnya.


Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan Indonesia menjadi salah satu negara yang berada peringkat bawah dalam literasi dan membaca. Padahal dengan membaca wawasan dan pengetahuan akan terbuka sedemikian besarnya dan otak akan menyeleksi bahasa-bahasa yang dibaca dari buku dengan baik. Sehingga ketika berbicara, pembaca akan benar-benar tidak sembarangan melontarkan kata-kata yang keluar dari mulutnya.


Apalagi jika seorang anak memahami sastra dengan baik, maka kualitas daya pikir dan bahasanya akan jauh dari rata-rata orang dewasa yang sudah bekerja. Sayangnya, sastra sering kali menjadi 'ekslusif' dikalangan para penulis dan mahasiswa di negeri ini. Meski demikian saya tidak pernah putus asa berharap anak-anak di negeri ini memahami sastra dengan baik. Agar, dikemudian hari tidak ada lagi yang menjadi buzzer bayaran untuk menjatuhkan pihak lain atau berkomentar negatif yang bisa berdampak pada kesehatan mental korbannya.


Pertemuan Pertama Dengan Heri Chandra Santoso


Akhir-akhir ini saya semakin terbakar sendiri melihat komentar-komentar di media sosial. Apalagi isu-isu terhangat saat ini membuat para buzzer bergerilya dengan komentar yang jauh dari realita dan kebenarannya. Saya khawatir dengan masa depan pada anak-anak di negeri ini, dikarenakan konten-konten bacaan media sosial dapat diakses oleh seluruh kalangan umur. Batasan-batasan yang diterapkan platform media sosial tidak menjadi penghalang anak-anak untuk melihat, mendengar dan membaca konten yang lewat di akun media sosialnya.


Dalam benak saya terlintas, seandainya saja komunitas sastra saya waktu kuliah dulu melakukan pencerdasan berbahasa kepada publik media sosial. Mungkin, hal-hal positif bisa tersebar sedikit demi sedikit kepada pengguna media sosial lainnya. Sayangnya saya tidak bisa kembali mengulang masa-masa kuliah saya dan mencanangkan program berbahasa baik di platform media sosial. Semuanya sudah menjadi arang, semuanya sudah menjadi abu.


Saya mencoba menenangkan diri saya dengan mencari informasi di internet tentang membaca dan sastra. Sudah mafhum apabila yang keluar adalah artikel-artikel ilmiah dari perguruan tinggi ternama di negeri ini. Namun, ketika saya ketik membaca sastra dari desa, saya terkejut, yang keluar sebuah artikel dari komunitas yang diinisiasi seorang pemuda hebat. Benar, pemuda hebat, ia adalah Heri Chandra Santoso. Seorang pemuda lulusan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang yang mendirikan Komunitas Lereng Medini (KIM) di Desa Boja, Jawa Tengah pada tahun 2008. Medini adalah nama pegunungan yang melatari kawasan Boja. Sebelum membangun komunitas ini, Heri lebih dahulu membuka perpustakaan gratis 23 “Pondok Maos” pada 2006. Perpustakaan ini memanfaatkan rumah Sigit di Jalan Raya Bebengan 221, Desa Bebengan, Boja.


Dengan perpustakaan yang ia buat sebelumnya saya benar-benar takjub padanya. Dalam pikiran saya orang ini benar-benar tulus dan tekun untuk melakukan perubahan literasi kepada masyarakat desa. Jadi sudah sewajarnya kalau saya melabeli Mas Heri ini dengan sebutan pemuda hebat dari desa. Pastinya sebutan ini bukan mengarah ke rasial ya. Ini sebutan positif yang saya buat untuk mengapresiasi niat dan kerja nyata yang beliau lakukan.


Memulai Sastra Dengan Tekun Membaca


Komunitas Lereng Medini (KIM) didirikan dengan tujuan memberikan ruang bagi pelajar desa, belajar sastra dan budaya di Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah. Mengingat penggunaan gawai sudah menjadi hal biasa untuk anak-anak dan gempuran kemajuan digital yang memberikan efek samping pada anak-anak, Mas Heri dan Mas Sigit tidak memiliki ekspektasi terlalu tinggi kepada anak-anak di Desa Boja dikarenakan buku cetak sudah sangat membosankan ketimbang penggunaan gawai. Namun, tidak disangka pengunjung yang datang ke perpustakaan yang dibuat oleh komunitas mereka begitu membludak. Banyak dari warga Desa Boja, khususnya anak-anak memiliki semangat tinggi untuk bisa membaca dan memahami isi bacaan dari buku cetak tersebut.


Ada dua program yang menurut saya benar-benar bersentuhan secara langsung dengan anak-anak dalam membaca, yaitu program Reading Group dan Wakul Pustaka. Yang pertama program Reading Group sesuai dengan sebutannya, Heri mengumpulkan anak-anak untuk membaca karya sastra dan membedahnya. Tak luput pula dalam program tersebut disisipi musikalisasi puisi, pentas teater, bulan bahasa dan parade sastra yang dikemas menarik dan mengangkat tema-tema yang dekat dengan kehidupan masyarakat Boja. Hal ini dilakukan, menurut saya, agar Mas Heri bisa melihat potensi-potensi pada anak-anak Desa Boja dan tentunya alasan utama lainnya agar anak-anak tidak bosan. Kedua, Program Wakul Pustaka, Mas Heri memaksimalkan tempat-tempat publik di desa seperti warung yang sering dikunjungi oleh masyarakat. Dengan menempatkan wadah-wadah nasi yang terbuat dari bambu. Wadah-wadah ini diisi buku-buku berbagai tema dan kategori. Setiap 1 s.d. 2 bulan, buku-buku tersebut diganti dengan buku-buku dengan judul baru. Hal ini mendapat apresiasi baik dari pemilik dan pembeli warung tersebut dan mereka mengajukan permintaan untuk buku-buku bertema anak yang bisa dipinjam dan dibawa ke rumah mereka. Agar mereka bisa juga ikut mendampingi tumbuh kembang literasi anaknya. Wajar saja apabila Mas Heri Chandra Santoso ini menjadi salah satu penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2011. Kata-kata mutakhir yang paling saya ingat dari beliau adalah “Sebelum belajar sastra, kita perkenalkan mereka dengan bacaan".


Dengan perkembangan media sosial yang begitu signifikan, saya rasa pantes sekali hal positif yang dilakukan oleh Mas Heri Chandra Santoso ini bisa tersebar hingga menjadi viral. Sebab bisa saja dengan menjadi viralnya apa yang dilakukan oleh Mas Heri dapat menggerus perilaku berkomentar negatif di media sosial.


Ini, baru Mas Heri yang terlihat. Bagaimana dengan satu atau satu juta orang lainnya? Bukankah bisa meningkatkan kualitas literasi di negeri ini bukan? Saya harap kita bisa melakukan hal baik seperti yang dilakukan Mas Heri ini.[]

Posting Komentar

0 Komentar