Upaya Menulis Puisi



Sejak tanggal 03 Juli 2021 – 20 Juli 2021, 121 kota dan desa yang berada di pulau Jawa melaksanakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Mikro Darurat. Di Kota Bandung diberlakukan penutupan jalan secara berkala, ‘aparat’ kota dikerahkan untuk ‘menindak tegas’ bagi warga yang melanggar peraturan ini. Setiap pukul 19.00 WIB tentara, polisi, satpol pp dengan rajin menyusuri ruas-ruas jalan di dalam kota.

Mereka bahkan sering singgah ke kedai atau toko warga untuk mengingatkan kembali tentang peraturan ini. Karena dalam perwal yang beredar untuk pusat perbelanjaan, mall, pusat perdagangan, restoran dan rumah makan ditutup sementara atau hanya melayani pembeli melalui delivery/take away. Tapi apakah pernah terpikir dampak yang dihasilkan oleh penutupan ini? Seperti pedagang yang bergantung untuk makan sehari-hari dari hasil dagangannya, atau tukang tambal ban yang bertaruh nasib hanya untuk bisa makan hari ini bersama istri dan anaknya. Apakah itu pernah terpikirkan pada saat membuat perwal?

***

Realitas di atas sengaja saya tuliskan sebelum membahas buku Puisi dan Bulu Kuduk karya Acep Zamzam Noor, karena saya menemukan adanya keterkaitan dalam upaya menulis puisi.

Semenjak berkembangnya dunia digital masyarakat di negeri ini berbondong-bondong menulis puisi di masing-masing akun media sosialnya, mulai dari pejabat, dokter, polisi, tentara, mahasiswa, anak sma, maupun siswa sd, mereka menulis puisi di blog, twitter, facebook, instagram, status whatsapp, dan banyak lagi. Tapi apakah yang mereka tulis bisa disebut puisi? Atau hanya sekadar tulisan curhatan biasa?

Dalam buku Puisi dan Bulu Kuduk membahas beberapa macam kiat-kiat menulis puisi yang ditulis melalui esai Acep Zamzam Noor dari beberapa tahun. Seperti pada bab Puisi, Acep mengatakan:

“Bahasa dalam puisi bukan hanya sekadar alat untuk menyampaikan keterangan, tapi bahasa yang harus mempunyai kekuatan puitik. Puisi adalah jenis karya sastra yang menggunakan bahasa yang khas, bukan bahasa umum atau biasa. Puisi biasanya menggunakan bahasa yang efektif, dengan kata-kata yang hemat namun mempunyai makna dan efek yang banyak. Puisi juga kadang menggunakan bahasa yang sugestif. Kalau pun menggunakan bahasa umum dan biasa, tentu dengan pengungkapan yang tidak umum dan biasa.”

Inilah yang membuat tulisan-tulisan yang beredar di dunia digital belum tentu bisa disebut puisi. Bisa saja apa yang dituliskan hanyalah sekedar umpatan, plesetan, curhatan, atau ungkapan percintaan verbal dari remaja tanggung. Menulis puisi tidak semudah menyeduh pop mie yang hanya tinggal menuangkan air panas ke dalamnya. Tetapi menulis puisi perlu banyak aspek yang perlu diperhatikan, mulai dari majas, rima dan bunyi, tipografi, estetika, dan banyak hal lagi.

Tetapi menulis puisi tidak juga sesulit yang dibayangkan atau dipikirkan. Menulis puisi adalah panggilan hati. Ia akan bertumbuh dan berkembang seiring waktu tergantung bagaimana penulis mengasah dan mempelajarinya. Penulis akan merespon tentang keadaan di sekitarnya; baik itu soal sosial, soal agama, soal alam, maupun soal percintaan. Karena menulis puisi mengutamakan kejujuran dan ketulusan seorang penyair. Menulis puisi juga bukan untuk mencari popularitas, apabila menulis untuk mencari popularitas akan menciderai jiwa kepenyairan yang menulis untuk menjernihkan hati dan pikiran serta merespon kondisi-kondisi yang berada di lingkungan penulis. Pernyataan ini seperti terdapat pada bab Posisi Saini di mana Acep mengutip pesan Saini KM untuk para penyair muda:

Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu

Jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal

Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi

: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya


Sebab Saini KM pun terhitung jarang menerbitkan puisi-puisinya di media masa. Lantas bagaimana menyikapi penulis yang “super produktif’ dalam menulis puisi? Apakah puisi-puisi yang ditulisnya hanya akan menjadi tumpukan tulisan di dalam laptopnya saja?

Menulis puisi ‘super produktif’ juga memiliki kelemahan tersendiri. Penulis akan malas untuk mengoreksi tulisan akibat terlampau banyak dokumen di dalam folder. Puisi akan tampak terburu-buru, terbuka, dan banyak diksi yang tidak pas di setiap bait dan liriknya. Dalam bab Kidung Purnama Acep mengatakan:

“Menulis puisi itu bukan seperti membuang ingus. [...] Membuang ingus spontan tanpa penghayatan. Disemprotkan begitu saja. [...] Maksud saya membuat puisi tak sesederhana buang ingus di trotoar, menulis puisi butuh kekhusyukan, penghayatan, pengendapan dan pendalaman. Menulis puisi itu mencipta, jadi harus serius, khusyuk dan jelas pertanggungjawabannya.”

Dengan begitu puisi-puisi yang dituliskan akan sampai makna dan pesan atau dapat terbayangkan citra dan imaginya pada pembaca. Sebab tugas seorang penyair atau penulis puisi salah satunya adalah dapat membuat pembaca tersentuh atau melakukan pesan yang ia dapatkan dari puisi tersebut.

Kunci dari menulis puisi menurut saya adalah bagaimana kamu menciptakan suasana puitik di setiap saat, baik itu di dalam kamar, di jalan raya, di tempat kerja, maupun di tempat ibadah, dengan begitu anda akan mudah untuk menuliskan momen puitik yang anda dapatkan di manapun anda berada. Karena menulis puisi tidak dipatok pada pukul berapa, dan harus berapa banyak. Apabila anda menuliskannya secara terus-menerus, lalu mengendapkannya, mendiskukikan puisi tersebut, serta mengedit kembali dari apa yang sebelumnya anda tuliskan, maka akan tercipta sebuah puisi yang dapat menggetarkan dada dan pikiran setiap pembacanya atau bisa jadi meneteskan air mata pembaca akibat keberhasilan puisi anda yang menyentuh ingatan pembaca tersebut.

Menulis puisi tentu saja tidak mudah apabila anda tidak menuliskannya sama sekali. Cara apapun yang anda lakukan untuk bisa menulis puisi itu merupakan salah satu langkah baik untuk bisa menciptakan puisi berkualitas. Lantas bagaimana ingin menulis puisi yang baik apabila anda menutup telinga dan tidak memperbaiki puisi jelek anda di media sosial?

***

Peristiwa yang saya tuliskan di bagian awal dalam tulisan ini, selain sebagai pengantar bisa juga menjadi sebuah tawaran proses kreatif dalam menciptakan sebuah puisi. Tawaran untuk merespon kondisi terkini masyarakat yang ekonominya berantakan akibat pemberlakuan sistem yang tidak memikirkan kelangsungan hidup masyarakat ekonomi bawah. Tulisan-tulisan yang merespon kondisi masyarakat penting untuk melahirkan kesadaran pembaca. Tapi, puisi-puisi sosial butuh dukungan. Sebab bisa saja penyair besok sudah dijemput dan tak tahu di mana lokasi ia berada.[]


Identitas Buku

Judul         : Puisi dan Bulu Kuduk

Penulis : Acep Zamzam Noor

Penerbit         : DIVA Press, 2021

Tebal : 370 halaman

ISBN         : 9786023919147


Posting Komentar

0 Komentar