Joglo Aruna

        



          Pukul setengah tiga sore Kereta Api jurusan Bandung – Yogyakarta tiba di Stasiun Tugu Jogja, ia bergegas melangkahkan kaki keluar dari gerbong, udara panas disertai hujan menyambutnya dan orang-orang bermuka ceria serta masam. Ia berhenti sejenak di depan tulisan ‘Selamat Datang di Yogyakarta’, memejamkan mata dan menghirup nafas panjang-panjang tanpa memperdulikan orang-orang dibelakangnya yang bergegas mencari pintu keluar.

 Teleponnya tiba-tiba berdering, dengan sigap ia mengambilnya dari saku. Berbicara pelan dengan seorang kawan masa kecil yang ternyata sudah menunggu di pintu kedatangan. Sembari menutup telepon, sekali lagi ia menatap tulisan tersebut, tertunduk lemah, sambil menuju pintu keluar ia bergumam.

          “Debar ini masih sama seperti dulu...”

***

        Memasuki pintu teralis, ia disambut kicauan indah kenari dan percikan air kolam ikan. Ia melihat-lihat di sekelilingnya; pintu-pintu penginapan berwarna hijau, jendela kamar terbuat dari kayu dilapisi teralis, lampu-lampu yang menggantung seperti petromaks, bar kecil bernuansa klasik, rimbun daun pohon-pohon di halaman dan motor klasik yang disandarkan pada badan pohon melengkapi suasana homestay tersebut.

        Sambil tersenyum ia mengingat perkataan kawannya beberapa hari yang lalu di telepon.

        “Pokoknya suasana Joglo Aruna ini Jogja klasik banget cok. Ko tenang saja”

     Ia dan kawannya mengambil kunci kamar di tempat informasi, di situ mereka bertemu dengan sepasang suami istri yang sering dipanggil sebagaimana panggilan akrab di tanah Jawa ‘Pakde’ dan ‘Bude’. Pakde memberikan mereka kunci kamar 207 yang terletak di lantai dua dan berada di pojok ruangan. Ia pun bergegas naik, membuka pintu, dan mengamati ruangan. Lagi-lagi ia tersenyum, kamar yang ia dan kawannya tempati termasuk luas untuk ditempati dua orang dengan harga sangat terjangkau apalagi di ruangan tersebut terdapat fasilitas seperti Air Conditioner, Televisi LED, Meja penyimpanan barang klasik, Toilet dilengkapi shower, dll. Ia merasa sisa-sisa duri di dalam hatinya perlahan tercabut dengan kesenangan yang ia dapatkan di homestay ini.

***

 Pagi begitu perkasa ketika ia dan kawannya turun ke bawah untuk membuat makanan di dapur bar tersebut. Pakde dan Bude terlebih dahulu sudah duduk sambil ditemani segelas kopi susu. Setelah mereka menyiapkan sarapan, mereka duduk di dekat Pakde dan Bude. Bergurau tentang kehidupan yang mereka alami dari obrolan receh hingga keluh-kesah Pakde dan Bude tentang pelanggan yang menjelekkan kinerja mereka tanpa membaca kesepakatan penyewaan kamar. Obrolan pun menyentuh ke hal yang lebih sensitif, tentang pernikahan. Maklum, usia mereka sudah terbilang ‘pantas’ untuk berkeluarga di negeri ini.

 Pakde bercerita bahwa ia sampai rela untuk pensiun dini dari militer sebab jarak tempat dinasnya sangat jauh dari Kota Jogja. Tapi, sebelum itu, pertemuan pertama Pakde dengan Bude membuat ia dan kawannya tercengang. Pertemuan Pertama Pakde dengan Bude disertai lamaran pernikahan, padahal mereka baru saja kenal.

      “Saya selalu punya prinsip, tidak perlu pacaran, hanya membuang-buang uang. Lebih baik langsung nikah saja. Kasihan ke wanitanya kalau kelamaan pacaran takutnya tidak jadi menikah. Kalau sudah nemu yang cocok sebaiknya langsung diajak menikah saja” Begitu kata Pakde kepada ia dan kawannya.

         Ia tertunduk lemah kembali, menyulut rokok, menghembuskan asap ke bawah dengan tatapan kosong dan berbisik di dalam hati.

        “Mungkin kalau semudah itu duri ini tidak menancap di hati Pakde...”[]

Juli, 2022.


Posting Komentar

0 Komentar